Senin, 17 April 2017

PEMIMPIN YANG MENGEMBANGKAN WILAYAH SAMARINDA



Samarinda, 8-April-2017.

Sabtu pagi, saya Nur Afni Dwi Novika dan segenap mahasiswa FIB UNMUL, angkatan 2016, Sastra Indonesia, akan melakukan kunjungan makam salah satu pendiri kota Samarinda yaitu Makam Lamohang Daeng Mangkona. Sebelum menuju ke makam, sesuai perjanjian diawal kita semua diharap berkumpul di Kampus FIB tepatnya di JL.Flores jam 08.00 dengan tujuan agar kita semua berjalan menuju ke makam bersama-sama agar tidak ada yang salah jalan. Setelah menunggu dari jam 08.00 akhirnya kita jalan menuju ke makam jam 10.00.

Setelah sampainya di sana kami disambut dengan seorang bapak yang bernama Bapak Abdillah sebagai juru kinci makam yang ke-3. Disana terdapat dua pendopo salah satu pendopo tersebut di dalamnya terdapat 3 makam yaitu makam Daeng Mangkona dengan dua makam kerabat atau keluarganya. Disana juga terdapat beberapa makam para pengikut atau prajurit Daeng Mangkona yang letaknya tidak jauh dari makam Daeng Mangkona itu sendiri. Dan disana juga terdapat bekas sumur yang saya juga tidak mengetahui apakah sumur tersebut ada sangkut-pautnya atau tidak dengan kehidupan Daeng Mangkona dan pengikutnya jaman dahulu. Disana juga terdapat juga terdapat patung kapal yang sengaja dibuat karena jaman dahulu Daeng Mangkona dan pengikutnya berlayar menggunakan kapal.
Di lokasi makam tersebut banyak dikelikingi dengan pepohonan. Biasanya dikebanyakan kuburan yang pernah saya lihat banyak pepohonan bunga kamboja, tetapi di makam Daeng Mangkona penapmapaknya sangat berbeda karena disekeliling makam tersebut banyak terdapat pohon-pohon buah, yaitu pohon buah mangga, pohon kelapa DLL. Kondisi di sana termasuk bersih karena makam tersebut sangat dijaga dengan baik oleh juru kunci dari yang pertama hingga yang sekarang dengan pergantian periode yang ke tiga.
Legenda merupakan salahsatu bagian dari jenis-jenis Sastra Lama jenis prosa lama yaitu Dongeng. Didalam dongeng itu terdapat beberapa jenis cerita dongeng salah satunya adalah Legenda. Legenda adalah cerita khayalan yang dihubungkan dengan asal-muasal terjadinya suatu tempat atau benda misalnya: Terjadinya Tunung Tengger, Asal Muasal Selat Bali DLL (Marhijantlo,2007).
Legenda menurut pelajaran kesusastraan Indonesia adalah salah satu bagian dari dongeng yang menceritakan tentang asal-usul binatang, tempat atau tumbuhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, legenda adalah cerita yang berisikan tentang sejarah (Suryanto&Haryanta, 2006).
Sejarah Lamohang Daeng Mangkona merupakan salah satu legenda rakyat yang menceritakan tentang berdirinya Kota Samarinda. Lamohang Daeng Mangkona bisa juga dikait-kaitkan dengan penyebaran agama Islam di Samarinda, karena dari makamnya saja bertuliskan lafal Al-Qur’an, jadi beliau merupakan pemeluk agama Islam .

Dari hasil yang saya dapat pada kunjungan ke makam tersebut, saya mendapatkan informasi dari penjelasan yang di tuturkan oleh bapak Abdillah bahwa makam tersebut di temukan oleh ayah dari bapak Abdillah yang bernama Muhammad Toha atau sering di panggil Orang Tua, yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Makam tersebut di temukan beberapa tahun sebelum meninggalnya Orang Tua dan umur makam tersebut di perkirakan sudah sekitar ratusan tahun lamanya. Jumlah makam yang ada di Makam Lamohang Daeng Mangkona tersebut sekitar seratusan lebih sedangkan lebihnya masih tidak diketahui dimana.

Sungai Mahakam adalah sungai terpanjang dan terbesar di Kalimantan Timur yang membelah bumi dengan alir melintang dari Barat ke Timur. Sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri sekitar tahun 1300 dengan menurunkan raja hingga raja terakhir sebanyak 22 raja hingga tahun 1960 yaitu Sultan Parikesit (Balham, 2009).
Dari buku yang saya baca, La Mohang Daeng Mangkona adalah bangsawan Bugis Wajo yang berlayar kedaerah Kutai lantaran kecwea dengan perjanjian yang dibuat oleh Belanda, yaitu perjanjian Bongaya 18 November 1667 lantaran isinya mengakui keberadaan penjajah Belanda di bumi Sulawesi Selatan. Para bangsawan Bugis meninggalkan wilayah Sulawesi Selatan dan bermigrasi kedua daerah, yaitu Pulau Jawa dan Kalimantan. Rombongan yang datang kedaerah Kalimantan terbagi menjadi dua. Satu rombongan dipimpin oleh Panglima Limboto ke wilayah utara Kalimantan Timur, sementara rombongan lain dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona tiba di wilayah Kerajaan Kutai. Rombongan Daeng Mangkona yang menggunakan 18 buah perahu kecil dengan jumlah anggota 200 orang juga diikuti oleh sejumlah bangsawan Wajo lainnya, seperti La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke’, La Siraje Daeng Manambambang, La Manja Daeng Lebbi’, Puanna Tereng, La Sawedi Daeng Sagala dan Manropi’ Daeng Punggawa (kedatangan rombongan ini dicatat dalam buku Eisenberger halaman 9, tahun 1668) (Aziz, 2006).
Saat rombongan La Mohang Daeng Mangkona menuju Kerajaan Kutai dengan tujuan meminta bantuan perlindungan dengan Raja Kutai yang saat itu dirajai oleh Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo yang memerintah pada tahun 1665-1668. Rombongan tersebut pertama mendarat di muara sungai Mahakam. Setelah sampai di kerajaan Kutai, Daeng Mangkona lalu meminta pertolongan dan perlindungan derta meminta izin untuk tinggal dan mengabdi pada kerajaan Kutai dengan berjanji akan menjaga “Ujung Lidah, Ujung Jakar, dan Ujung Badik”, sebagaimana adat yang diadatkan mereka sejak dari negeri asal mereka. Karena dengan adat yang baik disertai kesungguhan, permintaan tewrsebut dikabulkan oleh Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo. hanya saja keberadaan mereka di kerajaan Kutai wajib menuruti adat yang berlaku. Lamohang Daeng Mangkona serta pengikutnya di berikan tempat didaerah rantau rendah yang subur dipinggir kiri sungai Mahakan keberadaan mereka di daerah tersebut selain membuka perkampungan juga untuk kepentingan pertahanan dan pengembangan perekonomian kerajaan, dan Lmohang Daeng Mangkona dipercayai sebagai petinggi didaerah tersebut dengan gelar “Poa Adi”. Pemberian tempat tersebut memang tidak sia-sia karena daerah tersebut semakin lama-semakin berkembang dan apa yang diharapkan oleh Raja Kutai memang berhasil (Balham,2009).
Saat Samarinda yang dipercayakan oleh Raja Kutai yaitu Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo kepada Lamohang Daeng Mangkona yang pada waktu demi waktu mengalami banyak perubahan, karena banyak usaha demi usaha yang dilakukan oleh Lamohang Daeng Mangkona yang bertujuang untuk mengembangkan Kota Samarinda dengan perlahan tahap temih tahap rumah rakit dipindahkan kedaratan, dengan di bangun jalan lingkungan dan fasilitas pasar, kemudian tahap demi tahap diusahakan mendirikan pelabuhan (dicatat pada 20 April 1708). Tidak berapa lama Samarinda medjadi semakin terkenal sebagai pusat perdagangan perairan mahakam dan penduduk terus bertambah, baik dari pendatang orang Bugis maupun pendatang orang Kutai disekitarnya. Sehingga saat itu sudah ada berdirinya tiga kampung : yakni Kampung Masjid, Kampung Dagang dan Kampung Pasar ( Sjahrani,2015).
              KESIMPULAN
              La Mohang Daeng Mangkona merupakan salah satu sosok pendiri Kota Samarinda yang memeluk agama Islam. Sosok beliau sangat berpengaruh atas berkembangnya Kota Samarinda hingga sekarang.
              HARAPAN
              Harapan saya agar masyarakat samarinda khususnya harus mengetahi bahwa adanya sosok yang sangat berjasa dalam perkembangan Samarinda. Dan untuk warga sekita untuk saling menjaga kebersihan disekitar makam.


DAFTAR PUSTAKA
Aziz Abdul. Samarinda Dalam Lensa. 2006.
Balham Johansyah. Rakyat Samarinda & Cerita Legenda Kalimantan Timur. 2009.
Sjahrani Dachlan. Beberapa Usaha Untuk Menemukan Hari Jadi Kota Samarinda. 2015.
Marhijanto Bambang. Buku Pintar Bahasa Indonesia. 2007.
Suryanto Alex dan Agus Haryanta. Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia. 2006.

1 komentar: