Taufiq Ismail menerima surat dari Djen Amar S.H, sebagai Ketua Yayasan Arena melalui Sutardji Calzoum Bachri, yang berisi undangan membaca sajak di Bandung dan mengikuti suatu acara kegiatan sastra mengingat waktunya sudah dekat Taufiq Ismail meminta untuk di undur menjadi 8 September 1974 dalam interokal itu Sutardji menyebut tentang “pengadilan puisi”.
Harian Kompas 4 September 1974 menyiarkan acara itu dengan disertai penyair Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Jakarta. Dalam Kompas juga diberitakan bahwa akan ada pembacaan puisi dan Pengadilan Puisi “yaitu penilaian terhadap puisi Indonesia moderen, yang ditulis oleh penyair-penyair kita.”
Rupanya kawan kawan di Bandung ingin mencari suatu bentuk lain dalam arti Pengadilan Puisi Mutakhir dengan membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Bentuk seminar, simposium, diskusi panel dianggap menjemukkan. Dari hal itu akan dicari sesuatu yang tidak menjemukan, lucu, tapi juga sungguh-sungguh. Menurut gagasan Darmanto bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan .
Dakwaan merupakan kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi. Tuntutannya berbunyilah begini: Pertama, para keritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki. Kedua, para editor majalah sastra, khususnya Horison (Supardi Djoko Damono) dicuti-besarkan.(Catatan: kenapa TI tidak, apakah canggung karena TI hadir sebagai pembela?). Ketiga para penyair mapan seperti Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsannya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembangunan, kemudian ingkarnasinya dibuang pula kepulau terpencil. Keempat dan terakhir, Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku dan dilarang untuk dibaca oleh peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra dan puisi yang kita harapkan sehat dan wajar. Semua didasarkan atas “Kitab Undang-Undang Hukum Puisi”.
Tigabelas hari kemudian, di Teater Sastra Universitas Indonesia diadakan majelis dengan judul “ Jawaban Atas Pengadilan Puisi”. Acara 21 September 1974 diselenggarakan Senat Mahasiswa FSUI maka lebih tetap sebenarnya Rawamangun yang di ubah judulnya menjadi “ Jawaban Atas Pengadilan Puisi” tetapi “Jawaban Marah Terhadap Slamet Kirnanto”. Aneh pula Slamet Kirnanto meminta maaf di Rawamangun.
Slamet Kirnanto. Kepada majelis pengadilan sekarang ini dia akan menyampaikan karikatur yang menggambarkan betapa mungkin tidak sehatnya kehidupan sastra Indonesia, khususnya kehidupan puisi Indonesia, yang menurut pengamatan dia selama ini mengalami semacam polusi bahkan manipulasi yang mengakibatkan sesak, tidak jelas jadi brengsek!.
Dia merasa sangat aneh karena dalam negeri sendiri banyak orang tidak menyadari munculnya gejala dan kecurangan baru. M.S.Hutagalung, seorang dosen kesusastraan FSUI ( meskipun bidangnya kesusastraan dan dikenal sebagai “Kritikus Sastra” lantaran rajin dan banyaknya ulasan yang sudah diumumkan baik dalam bentuk sejumlah buku maupun tulisan yang tersebar luasdalam berbagai media majalah dan koran).
H. B. Jassin. Dalam pengadilam puisi harus dihadirkan para penhyair dan kritikus untuk mempertanggungjawabkan apa yang disebut sebagai dosa-dosa. Mengadili para kritikus dan penyair sedangkan mereka tidak melarikan diri adalah kelainan yang tidak boleh terjadi dalam prosedur pengadilan didalam negeri manapun yang menghormati keadilan.
Jaksa Penuntut Umum mengatakan mendasarkan tuntutannya pada apa yang disebut KUHP atau Kitab Undang -undang Hukum Puisi. Kitab Undang-undang ini harus tersebar luas sabagai pegangan umum, setelah beberapa hari dicari disegala toko tetapi buku itu tidak ada dengan tujuan supaya jelas apa pasal dan ayat yang tercantum didalamnya mestinya jaksa membagikan buku ini kepada para terdakwa, tim hakim, para saksi dan semua sastrawan Indonesia sebelum pelaksanaan perkara dimulai.
M. S. Hutagalung: saya beranggapan bahwa kritikus akan disegani oleh para penggemar, justru kritikus hanya menyanjung-nyanjung semua penggemar. Untungnya saya belum jadi kritikus yang disenangi oleh bpara penggemar.
Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi. Dan saya berpendapat bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnantolah yang berengsek. Dan saya tidak sependapat dengan pandangan Kirnanto bahwa perkembangan sastra hanya ditentukan oleh satu kritikus.
Untuk menilai seseorang , lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai HBJ atau MSH langsung menilai karyanya tanta menghubungkan harapan agar sebagai “pengaruh” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tidak wajar bagi mereka.
Goenawan Mohammad. Dalam setiap penciptaan seorang penyair selamanya melahirkan sesuatu yang selamanya belum pernah dilahirkannya. Tetepi ada suatu momen ia nanti bisa tersadar dahwa ada sajarah, ada takdir, ada ingatan yang melekat. Maka apabila puisi bisa terus menerus menarik dan memperkaya kita, para penyair sebaliknya bisa menjemukkan.
Supardi Djoko Damono. Keseluruhan naskah tuntutan itu memberi kesan bahwa penulisnya ingin membuktikan bahwa ia adalah orang pertama yang melihat adanya hal-hal baru dalam sastra Indonesia. Untuk mencapai maksud itu rupanya perlu mencaci-maki dua buah majalah.
Puisi mampu membela dirinya sendiri sebab ia adalah bentuk bentuk sastra yang peling sulit di larang, ditekan atau dihambat perkembangannya.
Darmanto Jt. Pada mulanya alangkah sulitnya penyair Indonesia keluar dari bayang-bayang Sang Penyair: Chairil Anwar. Untuk mempertahankan eksistensi puisi Indonesia telah memaksa Chairil Anwar sebagai berhala -- apalagi pada masa surat puisi Indonesia jadi bisa disebut sebagai malaise itu. Chairil Anwas sudah menjadi sestem penilaian terhadap puisi-puisi Indonesia lain.