Rabu, 26 April 2017

Menerjemahkan Pok Ame-ame



Untuk menerjemahkan sebuah lagu kedalam bahasa Indonesia itu memang tidak mudah, tidak semudah mengikuti apa yang kita fikirkan difikiran kita, karena lagu yang biasanya memang ada dari jaman dahulu sulit dimengerti. Karena dengan berkembangnya zaman dari dulu hingga sekarang biasanya diikuti dengan kemauan untuk berubah yang tinggi. Sedangkan jika kemauan berubah, itu sudah melampaui batas biasanya orang banyak dengan mudah melupakan budaya sendiri. Nah jika orang sudah banyak melupakan budaya lama maka sangat sulit untuk kita mencari tau apa tujuan ataupun maksud dari sebuah budaya lama tersebut.
Namun ada beberapa lagu-lagu lama yang mungkin sengaja dibuat untuk menyinggung kegiatan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, nah biasanya lagu -lagu seperti itu agak mudah di pahami maksudnya. Contohnya lagu yang akan saya cari tau terjemahannya ini yaitu lagu “Pok Ame-ame”, yang biasa dinyanyikan oleh orang tua jawa untuk anaknya termasuk ibu saya dulu. Menurut apa yang pernah saya dengar dari kebanyakan masyarakat Indonesia lagu ini memiliki banyak versi tergantung yang menyanyikan ingin menambahkan kalimat apa dalam lagu tersebut.
Versi rakyat :
 
Pok Ame-ame

Pok ame ame
Belalang kupu kupu
Siang makan nasi
Kalo malam minum susu

Susunya lemak manis
Dicampur kelapa muda
Adik jangan menangis
Ibunya masih bekerja



Versi lain :

Pok Ame-ame

Pok ame ame
Belalang kupu kupu
Ditepuk biar ramai
Diupah air susu

Pok ame ame
Belalang kupu kupu
Awan mangan sego
Nek bengi mimik susu

Adik jangan menangis
Nyanyilah bersamaku

Terjemahan :

Tepuk Pelan-pelan

Tepuk pelan pelan
Seperti kupu kupu
Siang makan nasi
Kalo malam minum susu

Susunya lemak manis
Dicampur kelapa muda
Adek jangan menangis
Ibunya masih bekerja

Didalam lagu tersebut ada yang perlu diperharikan bahwa lagu tersebut terdapat unsur pantun didalamnya. Dari unsur pantun tersebutlah yang mempermudah saya untuk memahami apa maksud dan isinya.
Dalam artinya lagu “Pok Ame-ame” ini, dari apa yang sudah saya pelajari berarti “tepuk pelan-pelan” dan “belalang kupu-kupu” maksudnya “seperti kupu-kupu” jika keduangnya di gabungkan memiliki arti “bertepuktanganlah pelan-pelan seperti binatang kupu-kupu yang mengelilingi taman dengan mengepakan sayapnya secara perlahan”.
Sedangkan maksud dari lagu tersebut adalah untuk menenangkan seorang anak yang ditinggal ibunya sebentar agar tidak menangis sembari bersantai ria sambil meminum susu dan memakan nasi.
Mungkin saya bisa saja menerjemahkan lagu ini dengan apa yang saya ketahui dan saya baca namun tidak bisa dipungkiri saya adalah manusia biasa yang bisa saja melakukan kesalahan karena saya mengerjakannya dengan apa yang saya dapat dari apa yang masyarakat lakukan dan apa yang saya lihat dari masyarakat.
Maka dengan adanya terjemahan ini saya berharap pemaparan yang saya berikan dapat bermanfaat dan saya sangat mengharapkan lagu-lagu dan kebudayaan dulu tidak tenggelam dengan seiringnya perkembangan jaman di Indonesia ini. Saya juga berharap kita akan terus menyalurkan dan terus melestarikan kebudayaan kita sendiri khususnya masyarakat Indonesia.
 
Oleh
Nur Afni Dwi Novika
(Mahasiswa S1 Universitas Mulawarman, lahir di Pantai Lango)
Samarinda, 26 April 2017.

Pengadilan Puisi



Taufiq Ismail menerima surat dari Djen Amar S.H, sebagai Ketua Yayasan Arena melalui Sutardji Calzoum Bachri, yang berisi undangan membaca sajak di Bandung dan mengikuti  suatu acara kegiatan sastra mengingat waktunya sudah dekat Taufiq Ismail meminta untuk di undur menjadi 8 September 1974 dalam interokal itu Sutardji menyebut tentang “pengadilan puisi”.
Harian Kompas 4 September 1974 menyiarkan acara itu dengan disertai penyair Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Jakarta. Dalam Kompas juga diberitakan bahwa akan ada pembacaan puisi dan Pengadilan Puisi “yaitu penilaian terhadap puisi Indonesia moderen, yang ditulis oleh penyair-penyair kita.”
Rupanya kawan kawan di Bandung ingin mencari suatu bentuk lain dalam arti Pengadilan Puisi Mutakhir dengan membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Bentuk seminar, simposium, diskusi panel dianggap menjemukkan. Dari hal itu akan dicari sesuatu yang tidak menjemukan, lucu, tapi juga sungguh-sungguh. Menurut gagasan Darmanto bentuk pengadilan bisa memenuhi persyaratan .
Dakwaan merupakan kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi. Tuntutannya berbunyilah begini: Pertama, para keritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki. Kedua, para editor majalah sastra, khususnya Horison (Supardi Djoko Damono) dicuti-besarkan.(Catatan: kenapa TI tidak, apakah canggung karena TI hadir sebagai pembela?). Ketiga para penyair mapan seperti Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsannya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembangunan, kemudian ingkarnasinya dibuang pula kepulau terpencil. Keempat dan terakhir, Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku dan dilarang untuk dibaca oleh peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra dan puisi yang kita harapkan sehat dan wajar. Semua didasarkan atas “Kitab Undang-Undang Hukum Puisi”.
Tigabelas hari kemudian, di Teater Sastra Universitas Indonesia diadakan majelis dengan judul “ Jawaban Atas Pengadilan Puisi”. Acara 21 September 1974 diselenggarakan Senat Mahasiswa FSUI maka lebih tetap sebenarnya Rawamangun yang di ubah judulnya menjadi “ Jawaban Atas Pengadilan Puisi” tetapi “Jawaban Marah Terhadap Slamet Kirnanto”. Aneh pula Slamet Kirnanto meminta maaf di Rawamangun.

Slamet Kirnanto. Kepada majelis pengadilan sekarang ini dia akan menyampaikan karikatur yang menggambarkan betapa mungkin tidak sehatnya kehidupan sastra Indonesia, khususnya kehidupan puisi Indonesia, yang menurut pengamatan dia selama ini mengalami semacam polusi bahkan manipulasi yang mengakibatkan sesak, tidak jelas jadi brengsek!.
Dia merasa sangat aneh karena dalam negeri sendiri banyak orang tidak menyadari munculnya gejala dan kecurangan baru. M.S.Hutagalung, seorang dosen kesusastraan FSUI ( meskipun bidangnya kesusastraan dan dikenal sebagai “Kritikus Sastra” lantaran rajin dan banyaknya ulasan yang sudah diumumkan baik dalam bentuk sejumlah buku maupun tulisan yang tersebar luasdalam berbagai media majalah dan koran).

H. B. Jassin. Dalam pengadilam puisi harus dihadirkan para penhyair dan kritikus untuk mempertanggungjawabkan apa yang disebut sebagai dosa-dosa. Mengadili para kritikus dan penyair sedangkan mereka tidak melarikan diri adalah kelainan yang tidak boleh terjadi dalam prosedur pengadilan didalam negeri manapun yang menghormati keadilan.
Jaksa Penuntut Umum mengatakan mendasarkan tuntutannya pada apa yang disebut KUHP atau Kitab Undang -undang Hukum Puisi. Kitab Undang-undang ini harus tersebar luas sabagai pegangan umum, setelah beberapa hari dicari disegala toko tetapi buku itu tidak ada dengan tujuan supaya jelas apa pasal dan ayat yang tercantum didalamnya mestinya jaksa membagikan buku ini kepada para terdakwa, tim hakim, para saksi dan semua sastrawan Indonesia sebelum pelaksanaan perkara dimulai. 

M. S. Hutagalung: saya beranggapan bahwa kritikus akan disegani oleh para penggemar, justru kritikus hanya menyanjung-nyanjung semua penggemar. Untungnya saya belum jadi kritikus yang disenangi oleh bpara penggemar.
Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi. Dan saya berpendapat bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan kritikus, sebenarnya tidak benar.  Sudut pandang Kirnantolah yang berengsek. Dan saya tidak sependapat dengan pandangan Kirnanto bahwa perkembangan sastra hanya ditentukan oleh satu kritikus.
Untuk menilai seseorang , lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai HBJ atau MSH langsung menilai karyanya tanta menghubungkan harapan agar sebagai “pengaruh” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tidak wajar bagi mereka.

Goenawan Mohammad. Dalam setiap penciptaan seorang penyair selamanya melahirkan sesuatu yang selamanya belum pernah dilahirkannya. Tetepi ada suatu momen ia nanti bisa tersadar dahwa ada sajarah, ada takdir, ada ingatan yang melekat. Maka apabila puisi bisa terus menerus menarik dan memperkaya kita, para penyair sebaliknya bisa menjemukkan.

Supardi Djoko Damono. Keseluruhan naskah tuntutan itu memberi kesan bahwa penulisnya ingin membuktikan bahwa ia adalah orang pertama yang melihat adanya hal-hal baru dalam sastra Indonesia. Untuk mencapai maksud itu rupanya perlu mencaci-maki dua buah majalah.
Puisi mampu membela dirinya sendiri sebab ia adalah bentuk bentuk sastra yang peling sulit di larang, ditekan atau dihambat perkembangannya.

Darmanto Jt. Pada mulanya alangkah sulitnya penyair Indonesia keluar dari bayang-bayang Sang Penyair: Chairil Anwar. Untuk mempertahankan eksistensi puisi Indonesia telah memaksa Chairil Anwar sebagai berhala -- apalagi pada masa surat puisi Indonesia jadi bisa disebut sebagai malaise itu. Chairil Anwas sudah menjadi sestem penilaian terhadap puisi-puisi Indonesia lain.

Senin, 17 April 2017

PEMIMPIN YANG MENGEMBANGKAN WILAYAH SAMARINDA



Samarinda, 8-April-2017.

Sabtu pagi, saya Nur Afni Dwi Novika dan segenap mahasiswa FIB UNMUL, angkatan 2016, Sastra Indonesia, akan melakukan kunjungan makam salah satu pendiri kota Samarinda yaitu Makam Lamohang Daeng Mangkona. Sebelum menuju ke makam, sesuai perjanjian diawal kita semua diharap berkumpul di Kampus FIB tepatnya di JL.Flores jam 08.00 dengan tujuan agar kita semua berjalan menuju ke makam bersama-sama agar tidak ada yang salah jalan. Setelah menunggu dari jam 08.00 akhirnya kita jalan menuju ke makam jam 10.00.

Setelah sampainya di sana kami disambut dengan seorang bapak yang bernama Bapak Abdillah sebagai juru kinci makam yang ke-3. Disana terdapat dua pendopo salah satu pendopo tersebut di dalamnya terdapat 3 makam yaitu makam Daeng Mangkona dengan dua makam kerabat atau keluarganya. Disana juga terdapat beberapa makam para pengikut atau prajurit Daeng Mangkona yang letaknya tidak jauh dari makam Daeng Mangkona itu sendiri. Dan disana juga terdapat bekas sumur yang saya juga tidak mengetahui apakah sumur tersebut ada sangkut-pautnya atau tidak dengan kehidupan Daeng Mangkona dan pengikutnya jaman dahulu. Disana juga terdapat juga terdapat patung kapal yang sengaja dibuat karena jaman dahulu Daeng Mangkona dan pengikutnya berlayar menggunakan kapal.
Di lokasi makam tersebut banyak dikelikingi dengan pepohonan. Biasanya dikebanyakan kuburan yang pernah saya lihat banyak pepohonan bunga kamboja, tetapi di makam Daeng Mangkona penapmapaknya sangat berbeda karena disekeliling makam tersebut banyak terdapat pohon-pohon buah, yaitu pohon buah mangga, pohon kelapa DLL. Kondisi di sana termasuk bersih karena makam tersebut sangat dijaga dengan baik oleh juru kunci dari yang pertama hingga yang sekarang dengan pergantian periode yang ke tiga.
Legenda merupakan salahsatu bagian dari jenis-jenis Sastra Lama jenis prosa lama yaitu Dongeng. Didalam dongeng itu terdapat beberapa jenis cerita dongeng salah satunya adalah Legenda. Legenda adalah cerita khayalan yang dihubungkan dengan asal-muasal terjadinya suatu tempat atau benda misalnya: Terjadinya Tunung Tengger, Asal Muasal Selat Bali DLL (Marhijantlo,2007).
Legenda menurut pelajaran kesusastraan Indonesia adalah salah satu bagian dari dongeng yang menceritakan tentang asal-usul binatang, tempat atau tumbuhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, legenda adalah cerita yang berisikan tentang sejarah (Suryanto&Haryanta, 2006).
Sejarah Lamohang Daeng Mangkona merupakan salah satu legenda rakyat yang menceritakan tentang berdirinya Kota Samarinda. Lamohang Daeng Mangkona bisa juga dikait-kaitkan dengan penyebaran agama Islam di Samarinda, karena dari makamnya saja bertuliskan lafal Al-Qur’an, jadi beliau merupakan pemeluk agama Islam .

Dari hasil yang saya dapat pada kunjungan ke makam tersebut, saya mendapatkan informasi dari penjelasan yang di tuturkan oleh bapak Abdillah bahwa makam tersebut di temukan oleh ayah dari bapak Abdillah yang bernama Muhammad Toha atau sering di panggil Orang Tua, yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Makam tersebut di temukan beberapa tahun sebelum meninggalnya Orang Tua dan umur makam tersebut di perkirakan sudah sekitar ratusan tahun lamanya. Jumlah makam yang ada di Makam Lamohang Daeng Mangkona tersebut sekitar seratusan lebih sedangkan lebihnya masih tidak diketahui dimana.

Sungai Mahakam adalah sungai terpanjang dan terbesar di Kalimantan Timur yang membelah bumi dengan alir melintang dari Barat ke Timur. Sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri sekitar tahun 1300 dengan menurunkan raja hingga raja terakhir sebanyak 22 raja hingga tahun 1960 yaitu Sultan Parikesit (Balham, 2009).
Dari buku yang saya baca, La Mohang Daeng Mangkona adalah bangsawan Bugis Wajo yang berlayar kedaerah Kutai lantaran kecwea dengan perjanjian yang dibuat oleh Belanda, yaitu perjanjian Bongaya 18 November 1667 lantaran isinya mengakui keberadaan penjajah Belanda di bumi Sulawesi Selatan. Para bangsawan Bugis meninggalkan wilayah Sulawesi Selatan dan bermigrasi kedua daerah, yaitu Pulau Jawa dan Kalimantan. Rombongan yang datang kedaerah Kalimantan terbagi menjadi dua. Satu rombongan dipimpin oleh Panglima Limboto ke wilayah utara Kalimantan Timur, sementara rombongan lain dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona tiba di wilayah Kerajaan Kutai. Rombongan Daeng Mangkona yang menggunakan 18 buah perahu kecil dengan jumlah anggota 200 orang juga diikuti oleh sejumlah bangsawan Wajo lainnya, seperti La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke’, La Siraje Daeng Manambambang, La Manja Daeng Lebbi’, Puanna Tereng, La Sawedi Daeng Sagala dan Manropi’ Daeng Punggawa (kedatangan rombongan ini dicatat dalam buku Eisenberger halaman 9, tahun 1668) (Aziz, 2006).
Saat rombongan La Mohang Daeng Mangkona menuju Kerajaan Kutai dengan tujuan meminta bantuan perlindungan dengan Raja Kutai yang saat itu dirajai oleh Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo yang memerintah pada tahun 1665-1668. Rombongan tersebut pertama mendarat di muara sungai Mahakam. Setelah sampai di kerajaan Kutai, Daeng Mangkona lalu meminta pertolongan dan perlindungan derta meminta izin untuk tinggal dan mengabdi pada kerajaan Kutai dengan berjanji akan menjaga “Ujung Lidah, Ujung Jakar, dan Ujung Badik”, sebagaimana adat yang diadatkan mereka sejak dari negeri asal mereka. Karena dengan adat yang baik disertai kesungguhan, permintaan tewrsebut dikabulkan oleh Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo. hanya saja keberadaan mereka di kerajaan Kutai wajib menuruti adat yang berlaku. Lamohang Daeng Mangkona serta pengikutnya di berikan tempat didaerah rantau rendah yang subur dipinggir kiri sungai Mahakan keberadaan mereka di daerah tersebut selain membuka perkampungan juga untuk kepentingan pertahanan dan pengembangan perekonomian kerajaan, dan Lmohang Daeng Mangkona dipercayai sebagai petinggi didaerah tersebut dengan gelar “Poa Adi”. Pemberian tempat tersebut memang tidak sia-sia karena daerah tersebut semakin lama-semakin berkembang dan apa yang diharapkan oleh Raja Kutai memang berhasil (Balham,2009).
Saat Samarinda yang dipercayakan oleh Raja Kutai yaitu Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo kepada Lamohang Daeng Mangkona yang pada waktu demi waktu mengalami banyak perubahan, karena banyak usaha demi usaha yang dilakukan oleh Lamohang Daeng Mangkona yang bertujuang untuk mengembangkan Kota Samarinda dengan perlahan tahap temih tahap rumah rakit dipindahkan kedaratan, dengan di bangun jalan lingkungan dan fasilitas pasar, kemudian tahap demi tahap diusahakan mendirikan pelabuhan (dicatat pada 20 April 1708). Tidak berapa lama Samarinda medjadi semakin terkenal sebagai pusat perdagangan perairan mahakam dan penduduk terus bertambah, baik dari pendatang orang Bugis maupun pendatang orang Kutai disekitarnya. Sehingga saat itu sudah ada berdirinya tiga kampung : yakni Kampung Masjid, Kampung Dagang dan Kampung Pasar ( Sjahrani,2015).
              KESIMPULAN
              La Mohang Daeng Mangkona merupakan salah satu sosok pendiri Kota Samarinda yang memeluk agama Islam. Sosok beliau sangat berpengaruh atas berkembangnya Kota Samarinda hingga sekarang.
              HARAPAN
              Harapan saya agar masyarakat samarinda khususnya harus mengetahi bahwa adanya sosok yang sangat berjasa dalam perkembangan Samarinda. Dan untuk warga sekita untuk saling menjaga kebersihan disekitar makam.


DAFTAR PUSTAKA
Aziz Abdul. Samarinda Dalam Lensa. 2006.
Balham Johansyah. Rakyat Samarinda & Cerita Legenda Kalimantan Timur. 2009.
Sjahrani Dachlan. Beberapa Usaha Untuk Menemukan Hari Jadi Kota Samarinda. 2015.
Marhijanto Bambang. Buku Pintar Bahasa Indonesia. 2007.
Suryanto Alex dan Agus Haryanta. Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia. 2006.